Sunday, April 3, 2011

seputar ITB

Sistem penerimaan mahasiswa-baru (maba) tahun 2011 di ITB menuai banyak pertanyaan dan tentu saja, keluhan. Bagaimana tidak, sekilas dari sekian banyak informasi yang diuraikan dalam situs penginformasian (http://usm.itb.ac.id/) mekanisme pendaftaran dan pembiayaan, ada salah satu poin yang seolah menjadi perhatian utama para pembaca –besar BPPM (Biaya Penyelenggarakan Pendidikan yang dibayar di Muka) yang dituliskan sebesar Rp 55juta. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan seputar jalur undangan: latar belakang, efektivitas, mekanisme penyeleksian, dan sebagainya.
Sedikit curhat, bagi siswa yang memang berasal dari keluarga yang benar-benar tidak mampu bahkan penghasilan orang tua di bawah UMR, mungkin hal itu tidak memberikan efek yang begitu besar. Karena baik besar BPPM dua tahun yang lalu maupun BPPM sekarang yang hampir dua kali lipatnya, sama saja tidak mampu membayar kecuali dengan beasiswa. Jadi, beasiswalah yang menjadi targetnya tanpa memperdulikan besar BPPM tersebut.
Lalu bagaimana dengan siswa yang berasal dari keluarga ‘pas-pasan?’ bagaimana nasib siswa yang berasal dari daerah namun tidak termasuk siswa dari kalangan tidak mampu? Teman-teman, ITB sebenarnya telah mempertimbangkan kekhawatiran tersebut.
100% SNMPTN: undangan dan tertulis
Berdasarkan Permendiknas no. 34 tahun 2010 Perguruan Tinggi wajib menerima paling sedikit 60% mahasiswa baru melalui pola penerimaan mahasiswa baru secara nasional (SNMPTN). Pada pasal berikutnya tertulis bahwa pola penerimaan tersebut dilaksanakan melalui ujian tertulis dan/atau undangan berdasarkan penjaringan prestasi akademik. ITB sendiri menentukan bahwa penerimaan mahasiswa baru tahun 2011 akan dilaksanakan 100% melalui jalur SNMPTN dengan komposisi 60% melalui jalur undangan dan 40% melalui tes tertulis dan/atau keterampilan. Artinya, ITB tidak lagi mengadakan Ujian mandiri (PMBP ITB).
Kritik dan keluhan beberapa kali terdengar baik melalui berbagai media mengenai penerimaan melalui jalur undangan ini. beberapa diantaranya mengkhawatirkan kualitas mahasiswa ITB tidak terjamin karena tidak ada tes, atau mengkhawatirkan siswa cerdas yang menempuh pendidikan bukan di sekolah yang berakreditasi sehingga tidak mendapat undangan. Mengenai hal ini, perlu diluruskan bahwa pada mekanismenya, bukan ITB yang mengundang sekolah tertentu untuk mendaftarkan siswanya mengikuti penyeleksian melalui jalur undangan, tetapi semua sekolah diberi kesempatan untuk mendaftarkan siswanya yang berprestasi sebanyak-banyaknya sesuai ketentuan berikut:
Akreditasi A (Aksel) : 100% terbaik di kelas
Akreditasi A (RSBI/Unggulan) : 75% terbaik di kelas
Akreditasi A (reguler) : 50% terbaik di kelas
Akreditasi B (reguler) : 25% terbaik di kelas
Akreditasi C (reguler) : 10% terbaik di kelas
Melihat ketentuan di atas, ITB telah berusaha memberikan porsi dengan adil dengan fleksibilitas persentase. Sekolah dengan tingkat persaingan lebih tinggi tentu diberikan persentase lebih besar. Walaupun pada pelaksanaannya ITB mempersilakan pihak sekolah untuk mendaftarkan lebih banyak siswanya dengan metode perankingan berdasarkan mata pelajaran yang disertakan dalam Ujian Nasional. Sayangnya, sampai saat penulis menerima informasi dari Kasubdit Penjaringan Mahasiswa (16/02/2011), dari jumlah 17.000 SMA di Indonesia, baru sekitar 500 SMA yang telah mendaftar untuk mengikuti SNMPTN jalur undangan ke ITB. kalau mengaku peduli, saya rasa di sini lah seharusnya kita berperan: memberikan informasi dan persuasi kepada –palingtidak—SMA-SMA di daerah asal agar mendaftarkan dirinya di jalur undangan, sebelum 12 Maret 2011.
Dengan adanya jalur undangan ini, diharapkan ITB dapat mensupport pelaksanaan keterpaduan pelaksanaan pendidikan secara horisontal (dari sabang-Merauke). Bagaimana hal tersebut dapat terjadi? Kita sadari bersama bahwa peminat ujian masuk ITB mayoritas merupakan siswa yang berasal dari daerah perkotaan, terutama dari sekolah-sekolah favorite di kotanya. Berdasarkan pengalaman penulis, tidak banyak siswa daerah yang –bahkan—percaya diri untuk mendaftar. Baik karena masalah kapasitas akademik maupun keuangan.
Kita tidak pernah tahu bahwa seseorang yang biasa-biasa saja dalam mengerjakan soal tes mungkin saja memiliki potensi yang sama atau bahkan lebih besar dari oang yang terampil dan lulus dalam mengerjakan soal tes karena telah terlatih dalam menghadapi soal-soal sejenis, mendapat support lebih besar dan memiliki waktu belajar yang lebih banyak. Sementara seorang yang lain mendapat pendidikan yang biasa-biasa saja –kalau tidak bisa dikatakan seadanya–, harus berusaha membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga, dan jarang sekali menemukan soal sejenis itu. melalui jalur ini, kemendiknas mencoba bertindak lebih bijak dengan memberikan kesempatan melalui jalur undangan di mana para siswa dapat bersaing sesuai tingkatannya dengan mempertimbangkan prestasinya di SMA. Selain itu, dalam penyeleksiannya, diterima tidaknya mahasiswa melalui seleksi jalur undangan ini ditentukan oleh ITB dan bukan oleh Panitia Nasional. Dalam hal ini ITB bisa menggunakan kriteria tambahan lainnya disamping prestasi akademik, yang oleh ITB dianggap baik dan bermanfaat untuk masyarakat secara holistik, seperti pertimbangan kebutuhan daerah, kawasan tertinggal dll.nya. (Hasanuddin Z. Abidin: 2010)
Jadi, saya kira tidak ada yang harus dikhawatirkan dengan adanya jalur undangan ini. tentunya pembuatan sistem ini telah mempertimbangkan berbagai hal termasuk kriteria calon mahasiswa yang dapat diterima. Terkait dengan kecurangan yang mungkin terjadi, panitia telah menetapkan untuk memberikan hukuman berupa pelarangan (blacklist) mengikuti SNMPTN ke perguruan tinggi manapun selama 2 tahun.
Biaya Pendidikan yang dibayar di Muka
Ini dia yang membawa kekhawatiran dan ketakutan yang besar. Pernyataan yang disampaikan ITB di situs penerimaan mahasiswa baru mungkin terdengar agak menakutkan dengan adanya kewajiban membaya BPPM sebesar minimal Rp 55 juta. Ternyata, aturannya tidak sesaklek itu, teman-teman. Ada banyak kesempatan untuk mahasiswa baru mendapatkan subsidi. ITB sendiri memiliki target dari 100% mahasiswa baru baik melalui jalur undangan maupun tes tertulis, minimal 20% mendapatkan kursi gratis alias dibebaskan dari BPPM dan BPPS, minimal 40% mendapat subsidi yang bervariasi antar 25%, 50% atau 75%, sedangkan 40% sisanya diharapkan dapat membayar BPPM lebih besar samadengan Rp55jt. tentu saja angka-angka tersebut merupakan hasil perhitungan berdasarkan data. Saya sendiri yakin, banyak dari calon mahasiswa nanti yang benar-benar mampu untuk membayar lebih besar dari Rp 55juta. Dengan adanya sistem penyesuaian BPPM berdasarkan keadaan ekonomi ini, diharapkan akan mewujudkan sistem pembayaran yang berkeadilan sehingga biaya masuk ITB bisa tetap terjangkau oleh semua kalangan.
Kriteria seperti apa yang berhak masuk ketiga kategori di atas memang belum ada kepastian, namun pendaftar dibebaskan mengisi form kesediaan membayar BPPM sesuai kemampuannya. (Dalam formulir kesediaan membayar BPPM, tertera ketiga pilihan di atas) Hanya saja paling tidak pendaftar mengisi pilihan sebesar 10% penghasilannya perbulan selama 2 tahun. Jika demikian, penghasilan di bawah Rp 5juta berarti masih diperbolehkan untuk mendapatkan subsidi sebesar 75%. Yang pasti, setelah diterima di ITB, pendaftar akan dimintai beberapa berkas yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan termasuk jumlah tanggungan keluarga walaupun besar gaji sama akan menjadi bahan pertimbangan ke depannya.
Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul di benak teman-teman adalah: “dari mana ITB akan mendapatkan uang sebanyak itu untuk mensubsidi?”. SKD ITB mungkin perlu bekerja lebih keras untuk ini. kita berdo’a dan ikut mengawasi sajalah, jangan sampai kebutuhan dana yang besar menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas ITB, tentunya dengan tetap mengupayakan adanya gerakan yang membantu teman-teman mahasiswa lain menuntaskan masalah pembiayaan kuliah. Mungkin teman-teman dari tim beasiswa telah memulai upayanya melalui GLB. Saya rasa sistem ini sudah baik. tinggal pelaksanaannya. Kalau perlu, kita ikut serta melakukan pengawasan dengan memerhatikan kesejahteraan KM ITB ke depannya.
Beasiswa BIDIK MISI
Peminat beasiswa bidik misi (biaya kuliah+biaya hidup) dapat mendaftarkan diri ke sekolahnya masing-masing. Untuk selanjutnya kepala sekolah mendaftarkan siswa tersebut sebagai calon penerima beasiswa bidikmisi. Setelah pendaftar tersebut diterima barulah berkas-berkas yang diperlukan –jika ada—akan diminta. Begitu pula dengan beasiswa lain yang diselenggarakan oleh ITB.
Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa ITB menargetkan minimal 20% mahasiswa baru dibebaskan dari biaya kuliah, yang rencananya akan didapat melalui jalur undangan. Namun, apabila ternyata melalui jalur undangan ini jumlah mahasiswa yang berhak masih di bawah 20%, ITB masih membuka kesempatan melalui jalur tes tertulis.
Lalu apa yang dapat kita lakukan terkait isu ini?
Banyak siswa yang mungkin menjadi takut dengan besar BPPM yang disyaratkan ITB. Namun kita bisa meyakinkan mereka bahwa ada banyak beasiswa di ITB, dan selalu ada tempat untuk orang-orang yang mau berusaha mendapatkan apa yang dicitakan. Jangan perbesar image “MAHAL” nya, tapi tonjolkan bahwa mereka –adik-adik kita—bisa berkuliah di ITB dengan segala potensi yang dimilikinya, termasuk taraf ekonominya. Biarlah protes kita akan biaya yang mahal –yang sebenarnya ditargetkan untuk mahasiswa dengan taraf ekonomi tertentu—hanya didengar pihak rektorat atau sesama mahasiswa saja. Namun perdengarkanlah kepada adik-adik kita segala kelebihan ITB, tentang cita-cita besarnya, tentang prestasi yang akan kita buat di kampus ini maupun di masyarakat, dan sebuah janji bahwa tidak akan ada mahasiswa yang DO karena permasalahan ekonomi. Karena kita akan selalu ada untuk kita. Dan bahwa rektorat juga manusia.